Minggu, 23 Desember 2012

Bayi Kecilku Menderita Hirschprung

Persis jam 8 pagi pada 1 Ramadhan atau 1 Agustus 2011, istriku mengeluh menahan sakitnya. Ini sudah bulan ke sembilan dari kehamilannya, dan menurutku wajar. Hasil pemerikasaan rutin dokter kandungan menunjukkan kelahiran bayi kami diperkirakan sekitar tanggal 13 Agustus 2011.

Kebetulan, bidan terdekat hanya berjarak 50 meter dari rumah kami. Segera kubawa istriku ke sana. Dalam waktu tak terlalu lama, yakni sekitar jam 9.30 pagi tangisan bayi dari ruang bersalin membuatku lega dan tenang. Selesai satu masalah. Istriku melahirkan normal dan bayiku terlihat sehat. 

Masalah berikut muncul karena ASI istriku tidak serta merta keluar. Oleh perawat, sang bayi diberi minum susu formula. Siang harinya memang tidak terlihat gejala apapun, biasa. Namun di malam hari, sang bayi muntah. Dan, satu hal yang terabaikan, mekonium atau kotoran pertama bayi sampai esok hari kok belum keluar? Beda dengan kakaknya dulu, mekoniumnya keluar pada hari pertama.

Kami menurut saja ketika perawat rumah bersalin menyatakan bahwa mekonium akan keluar dalam 48 jam. Namun, kondisi bayi mulai mengkhawatirkan ketika pada malam kedua selalu muntah ketika diberi ASI. Pada pagi hari ke-3, kami pun membawa bayi ke dokter spesialis anak. Istriku panik begitu dokter menyatakan bahwa anak kami suspect atresia ani (kelainan bawaan ketiadaan anus pada bayi). Namun demikian, dokter anak menyarankan agar bayi kami dirawat lebih lanjut di rumah sakit.

Kami mengikuti saran dokter untuk membawa bayi ke rumah sakit yang dirujuk. Di rumah sakit, bayi kami dirawat dalam incubator. Perutnya kembung. Istri saya begitu sedihnya karena tidak dapat memberinya ASI. Bayi kami mesti diinfus. Dan kotorannya dispooling-atau dipompa. Kembungnya hilang ketika esok harinya pengeluaran kotoran dilakukan dengan colon in loop, sekaligus diambil gambar ususnya.

Menurut analisa dokter bedah, bayi menderita Hirschprung, yakni kelainan bawaan ketiadaan syaraf usus besar pada bayi baru lahir. Dan sang bayi meski dioperasi untuk mencegahnya terkontaminasi toksin oleh kotorannya sendiri. Jika dibiarkan, akan berakibat fatal dan mengganggu pertumbuhan dan membahayakan organ vital semisal otak, jantung dan hati.

Akhirnya, bayi kami dibawa ke rumah sakit di Padang, karena di kota ini lah terdapat dokter ahli spesialis bedah anak. Operasi kolostomi namanya. Operasi dilaksanakan tanggal 17 Agustus 2011 berjalan sukses (hanya 2,5jam) dan sampai hari ini bayi kami masih sehat. Meski ibunya mesti rajin mengganti kain handuk steril yang menyerap kotoran dari lubang kolostomi di bagian perut sebelah kiri.

Kami mesti bersiap-siap menghadapi operasi yang kedua, yakni tindakan memasang / mengarahkan kembali ujung usus besar ke lubang anus. Mohon doa pembaca agar bayi kami selamat dan sehat hingga dewasa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar